 Diduga Titip Nama, Oknum DPRD Perindo SBD Terlibat Manipulasi Seleksi PPPK Tahap Dua
Diduga Titip Nama, Oknum DPRD Perindo SBD Terlibat Manipulasi Seleksi PPPK Tahap Dua“Jika benar ada pimpinan dewan yang terlibat menitipkan nama, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan bagi para tenaga kontrak yang telah mengabdi lama,” tegas Lasarus.
Tambolaka, TIMESNTT.COM | Polemik seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap dua di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) kian kusut. Hingga memasuki pertengahan Juni 2025, Rapat Dengar Pendapat (RDP) lintas komisi DPRD SBD dengan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) SBD belum juga digelar. Penyebabnya? Perpecahan di tubuh pimpinan DPRD sendiri.
Tiga pimpinan DPRD SBD yang terdiri dari Rudolf Radu Holo (Ketua dari PDIP), Thomas Tanggu Dendo (Wakil Ketua I dari Nasdem), dan Yusuf Bora (Wakil Ketua II dari Perindo), belum menemui kata sepakat untuk melanjutkan RDP keempat yang sudah tertunda hampir satu bulan.
Sumber TIMESNTT.COM di lingkungan DPRD SBD menyebutkan bahwa dalam pertemuan internal pimpinan dewan yang digelar di ruang kerja Wakil Ketua I, Thomas Tanggu Dendo, terjadi perdebatan tajam soal urgensi kelanjutan RDP. Ketua DPRD, Rudolf Radu Holo, mendorong agar RDP segera digelar dan meminta transparansi penuh dari BKPSDM. Namun pertemuan tersebut tak berujung keputusan.
“Deadlock. Tidak ada kesepakatan. Setiap pimpinan bersikeras dengan posisinya,” kata salah satu sumber Times yang enggan disebutkan namanya.
Bayang-Bayang Titipan PPPK
Yang membuat situasi kian rumit adalah dugaan adanya konflik kepentingan dari salah satu pimpinan dewan. Wakil Ketua II DPRD SBD, Yusuf Bora, disebut-sebut sebagai salah satu pihak yang menitipkan sejumlah nama dalam proses seleksi PPPK tahap dua. Informasi ini muncul dari pengakuan beberapa tenaga kontrak yang merasa dirugikan akibat banyaknya nama yang dinilai bukan bagian dari kontrak daerah namun lolos seleksi.
“Kami tahu siapa-siapa yang masuk tanpa pernah jadi kontrak daerah. Nama-nama itu diduga titipan, dan kami mencurigai beberapa nama berkaitan dengan elite di dewan,” ujar seorang tenaga kontrak yang kini memperjuangkan keadilan bersama rekan-rekannya.
Saat dikonfirmasi, Yusuf Bora justru memilih bungkam. Ia bahkan sempat melarang wartawan untuk menulis terkait sikapnya terhadap polemik PPPK. Kepada salah satu jurnalis, ia melontarkan ucapan tidak pantas hingga berbuntut kecaman keras dari kalangan jurnalis dan PWI NTT.
Konflik Kepentingan Menghantui Keadilan
Pengamat politik dari FISIP Universitas Nusa Cendana (Undana), Lasarus Jehamat, menilai kebuntuan politik di DPRD SBD ini merupakan pertanda bahwa institusi dewan tidak sepenuhnya steril dari kepentingan pribadi.
“Jika benar ada pimpinan dewan yang terlibat menitipkan nama, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan bagi para tenaga kontrak yang telah mengabdi lama,” tegas Lasarus.
Ia juga menyayangkan lambannya penyelesaian polemik PPPK di SBD. Menurutnya, satu-satunya jalan adalah membuka secara transparan seluruh data peserta PPPK dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki dugaan kecurangan.
“Pansus itu perlu. DPRD harus hadir sebagai pengawal integritas, bukan malah jadi bagian dari masalah,” tambahnya.
Apa Selanjutnya?
Ketika nasib ribuan tenaga kontrak masih digantung, konflik internal DPRD justru menunjukkan gejala pembusukan politik. Desakan publik untuk segera menggelar RDP keempat makin menguat. Namun hingga kini, pimpinan DPRD belum juga bergerak.
Di sisi lain, dorongan dari Fraksi Golkar, Fraksi PKB dan Gerindra agar dibentuk Pansus semakin memperlebar jurang politik antara fraksi yang ingin membuka aib seleksi PPPK dan mereka yang memilih bungkam.
Masyarakat kini bertanya, siapa yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan siapa yang sedang menyembunyikan dosa?***
| 
 | 

Stop Copas!!
Tidak ada komentar