 Yusuf Bora, Plt Ketua DPD Perindo saat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada wartawan di Sumba Barat Daya
Yusuf Bora, Plt Ketua DPD Perindo saat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada wartawan di Sumba Barat DayaSUMBA BARAT DAYA, TIMESNTT.com | Plt Ketua DPD Partai Perindo Sumba Barat Daya (SBD) sekaligus Wakil Ketua DPRD SBD, Yusuf Bora, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan soal polemik PPPK, tetapi karena pernyataannya yang dinilai berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Saat diwawancarai oleh media Victorynews.id, Yusuf menyampaikan ketidaksenangannya terhadap salah satu media lokal di Nusa Tenggara Timur yang memberitakan dugaan dirinya menitipkan nama dalam seleksi PPPK tahap dua. Dalam wawancara tersebut, Yusuf mengeluarkan pernyataan tegas yang dinilai bernada ancaman terhadap media.
“Saya minta media tersebut mengeluarkan data-data atau nama-nama yang dimaksud, dan saya siap pertanggung jawabkan jika benar adanya. Jika media tersebut tidak membuktikan, maka saya ambil langkah hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.”
Ia juga menambahkan bahwa pemberitaan tersebut telah merusak nama baik dirinya secara pribadi, serta mencoreng institusi DPRD SBD.
“Saya sangat kecewa dengan pemberitaan tersebut karena sudah merusak nama baik pribadi saya dan lembaga DPRD SBD,” ujar Yusuf dalam wawancara itu.
Nada Ancaman Dinilai Intimidatif bagi Pers
Pernyataan Yusuf tersebut langsung menuai tanggapan dari berbagai kalangan, terutama pegiat kebebasan pers dan masyarakat sipil. Nada ancaman berupa upaya hukum terhadap media yang menjalankan fungsi kontrol publik dikhawatirkan dapat menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis, khususnya di daerah.
Menurut pengamat sosial-politik NTT, Lasarus Jehamat, pernyataan semacam itu mencerminkan minimnya pemahaman terhadap peran dan fungsi pers dalam sistem demokrasi.
“Seorang pejabat publik seharusnya memahami bahwa dirinya terbuka untuk dikritik dan dipantau. Pers bekerja dalam ruang itu. Kalau tidak puas, gunakan hak jawab, bukan intimidasi,” kata Lasarus saat dihubungi Timesntt.com, Rabu (18/6/2025).
Lasarus menambahkan bahwa pejabat publik memiliki tanggung jawab etis untuk menunjukkan kedewasaan dalam merespons pemberitaan. Mengancam media, secara langsung maupun tersirat, justru berbahaya bagi demokrasi lokal.
“UU Pers sudah jelas memberi ruang kepada siapa pun untuk mengajukan hak jawab. Jadi bukan ancaman yang dibutuhkan, tapi klarifikasi. Apalagi ini disampaikan oleh seorang pimpinan DPRD. Sikap seperti ini bisa dianggap antikritik dan berpotensi menekan ruang kebebasan pers,” lanjutnya.
UU Pers Lindungi Wartawan dan Redaksi
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Dalam pasal yang sama, dijelaskan pula bahwa tidak seorang pun dapat menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik.
Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) mengatur bahwa “Pers wajib melayani Hak Jawab.” Dengan kata lain, jika merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan, pejabat publik atau pihak mana pun dapat menempuh prosedur resmi berupa pengajuan hak jawab kepada media bersangkutan.
Namun hingga kini, Yusuf Bora diketahui belum mengajukan hak jawab secara formal kepada media pertama yang memuat laporan tersebut. Sebaliknya, ia menyampaikan pernyataan keras melalui media lain yang bukan sumber awal pemberitaan.
Bahkan dihubungi guna mendapatkan jawaban atas pernyataanya di media lokal Victorynews.id belum ditanggapi hingga berita ini tayang. Hal tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip profesionalisme dalam menyikapi dinamika antara pejabat publik dan media.***
| 
 | 

Stop Copas!!
Tidak ada komentar