WhatsApp Channel Banner

Ketika Hukum Membisu, Jejak Luka MML yang Ditinggalkan Negara

waktu baca 3 menit
Sabtu, 31 Mei 2025 03:08 268 FBL

Tambolaka, TIMESNTT.COM | Suara alam di pedalaman Wewewa Selatan tidak mampu meredam jeritan tangis MML, 25 tahun, yang berulang kali memeluk dirinya sendiri sejak malam kelam itu. Perempuan muda dari keluarga miskin itu hanya bisa terdiam ketika penyidik Polres Sumba Barat Daya menyodorkan secarik kertas bertuliskan “SP3”—Surat Penghentian Penyidikan.

Kasus pemerkosaan yang menimpanya resmi dihentikan. Alasannya tidak cukup bukti, tidak ada tanda kekerasan, dan disebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada ruang bagi MML untuk membela diri.

MML perempuan biasa. Ia tidak tamat SD, tidak fasih berbahasa Indonesia, dan tumbuh besar di kampung dengan pemahaman yang sangat terbatas soal hukum dan tubuhnya sendiri. Sejak usia belasan, MML bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Naomi Bili, yang akrab disapa Mama Andre.

Di rumah itu, ia mengasuh anak-anak, mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Tak pernah sekalipun MML berpikir bahwa suatu hari ia akan menjadi korban dari lelaki yang merupakan tetangga rumah Naomi Bili, Oktavianus Bora Lende, pria berusia 53 tahun.

MML bercerita bahwa pada malam 1 Maret 2025, Oktavianus Bora Lende menariknya di semak-semak, pria itu memaksa MML untuk melayani nafsunya.

MML mengaku tak mampu melawan karena takut. “Saya tidak tahu harus bagaimana. Saya takut, dan saya diam saja,” katanya lirih. Ia menangis saat menyampaikan cerita itu kepada petugas di Polsek Wewewa Selatan malam hari setelah kejadian.

Baca Juga  Ketua Komisi III DPRD Sumba Barat Daya: Kepala BKPSDM Jadi Korban Permainan Penguasa

Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Polres Sumba Barat Daya. Namun, dua bulan setelah laporan dibuat, MML justru menerima surat keputusan yang menyatakan bahwa kasus tersebut dihentikan. “Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan,” ujar Kasat Reskrim Ketut Rai Artika kepada wartawan.

Menurutnya, berdasarkan penyidikan, hubungan tersebut diduga atas dasar suka sama suka. Tidak ada ancaman. Tidak ada luka. Maka, tidak ada pidana.

Namun investigasi TIMES Nusa Tenggara Timur mengungkap sejumlah kejanggalan. Pertama, tidak ada pendamping hukum atau penerjemah bahasa lokal saat MML diperiksa. Padahal, kemampuan berbahasanya sangat terbatas. Kedua, tidak dilakukan visum secara menyeluruh saat laporan peruk.

Baca Juga  Bulan Maria, Umat Katolik Pogotena Laksanakan Perarakan Patung Bunda Maria  

Ketiga, pihak keluarga MML mengaku tidak pernah dimintai keterangan oleh penyidik. “Kami baru tahu kasus ini sudah ditutup dari surat itu. Tidak ada yang kasih tahu,” ujar Naomi Bili.

Kasus ini bukan semata tentang pemerkosaan, tapi tentang relasi kuasa. MML adalah perempuan muda, miskin, tidak berpendidikan, dan tak memiliki posisi tawar. Sedangkan Oktavianus Bora Lende adalah pria setengah baya, dikenal di lingkungan sekitar, dan punya hubungan baik dengan oknum-oknum Polisi setempat.

“Dalam kasus seperti ini, kekuasaan tidak selalu terlihat. Tapi efeknya nyata,” kata Imelda Sulistiawati, aktivis perempuan dari NTT yang selama ini mendampingi korban kekerasan seksual.

Penghentian kasus MML menyisakan tanya, benarkah pemerkosaan hanya bisa diakui jika korban babak belur? Apakah tubuh perempuan hanya layak dipercaya jika menyimpan luka yang terlihat?

“Logika ‘tidak ada kekerasan berarti suka sama suka’ adalah bentuk pemahaman hukum yang gagal memahami dinamika korban,” ujar pengacara publik dari LBH Sarnely.

Kini, MML kembali ke kampung. Tak ada pendampingan psikologis. Tak ada perlindungan. Tak ada keadilan. Hanya trauma yang terus menghantui.

“Saya menyesal lapor polisi,” ujarnya singkat.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten apapun tanpa seizin redaksi TIMES NTT.

FBL

Pemimpin Redaksi Times Nusa Tenggara Timur

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA

    Stop Copas!!