Tambolaka, TIMESNTT.COM | Naomi Bili menatap kosong ketika dijumpai di kios sederhananya di pasar Tenateke. Air matanya tak lagi bisa dibendung saat menyebut nama anaknya, MML, 25 tahun. “Bagaimana mungkin itu suka sama suka?” katanya dengan suara parau. Namun begitulah kesimpulan Polres Sumba Barat Daya dalam surat penghentian penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan terhadap anaknya. Pelaku, Oktavianus Bora Lende, 53 tahun, dinyatakan tak cukup bukti memperkosa. Kasus pun ditutup dengan status SP3.
Kasat Reskrim Polres Sumba Barat Daya, Ketut Rai Artika, bersikukuh “Tidak ditemukan unsur kekerasan atau pemaksaan.” Pernyataan itu tercantum jelas dalam surat ketetapan nomor S.Tap/14/IV/2025/Reskrim yang menyetop penyelidikan kasus tersebut. Namun keterangan itu bertolak belakang dengan penuturan korban yang menyatakan peristiwa itu sebagai pemerkosaan. Bahkan, menurut sang ibu, MML mengalami trauma berat hingga tak mampu memberikan keterangan saat BAP.
  
 
“Kami tidak terima! Anak saya tidak bisa mendampingi sendiri apalagi dalam kondisi syok,” ujar Naomi, atau yang dikenal warga sebagai Mama Andre. Ia mengenang betapa terguncangnya MML selepas kejadian malam itu. “Anak saya bahkan belum lulus SD. Bahasa Indonesianya terbatas. Dia hanya bisa bahasa daerah.” Saat MML dimintai keterangan polisi, Naomi tak diperkenankan mendampingi karena alasan usia dewasa. Padahal secara kapasitas, MML tak mampu memahami pertanyaan dalam BAP.
TIMES Nusa Tenggara Timur menelusuri lebih dalam prosedur penyidikan kasus ini. Hasil temuan menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara standar penanganan korban kekerasan seksual dan praktik di lapangan. Keterangan awal yang disebut ‘suka sama suka’ diperoleh ketika korban masih dalam kondisi trauma berat. Tak ada pendamping psikolog, penerjemah bahasa lokal, atau kuasa hukum yang mendampingi. Beberapa ahli forensik pidana yang dihubungi TIMES Nusa Tenggara Timur menegaskan, pengakuan dalam kondisi psikis terguncang tidak bisa dijadikan dasar hukum sah.
  
 
Setelah kondisi MML membaik, keluarga berinisiatif untuk meralat keterangan awal. Pada 2 Maret 2025, Naomi mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan kembali dengan keterangan yang diperbaiki. Namun upaya itu ditolak. Polisi beralasan kasus sudah dilimpahkan ke Unit PPA Polres. Tak ada respons hingga dua bulan berlalu. Lalu, pada akhir Mei 2025, keluarga dikagetkan dengan terbitnya surat SP3. “Seperti tidak pernah terjadi apa-apa,” kata Naomi lirih.
Pakar hukum pidana dari Universitas Nusa Cendana, yang diwawancarai TIMES Nusa Tenggara Timur, menyoroti lemahnya pendokumentasian keterangan korban dalam sistem peradilan di daerah. “SP3 dengan alasan tidak cukup bukti sering kali digunakan sebagai tameng ketika penyidikan tidak berjalan profesional,” katanya. Ia menambahkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, pembuktian tidak harus melulu pada visum fisik, melainkan juga trauma, keterangan psikolog, hingga relasi kuasa antara pelaku dan korban.
  
 
TIMES Nusa Tenggara Timur mencoba menghubungi kepala desa Mandungo dan tokoh masyarakat setempat. Beberapa warga menyebut Oktavianus adalah sosok yang sudah melakukan tindakan serupa di lingkungan. “Dia punya relasi dengan orang kepolisian,” bisik seorang warga yang meminta namanya disamarkan. Narasi ‘suka sama suka’ pun ramai dibicarakan warga, meski sebagian besar meragukannya. “Anak muda seperti MML tidak mungkin tertarik dengan pria seumuran bapaknya,” ujar salah seorang tetangga.
Di kiosnya, Naomi masih berharap ada keadilan. “Biar dia orang biasa, anak saya tetap punya harga diri.” Di tengah sunyi Sumba, suara seorang ibu menggema, menantang sistem hukum yang terlalu cepat menyimpulkan dan terlalu lambat mendengarkan.
TIMES Nusa Tenggara Timur akan menyajikan fakta lain bahwa malam ketiga pasca peristiwa itu, seorang oknum polisi yang bertugas di Polsek Wewewa Selatan menjemput MML dirumahnya. Ia berdalih akan membawa korban ke Polres Sumba Barat Daya. Oknum polisi tersebut malah membawa MML ke Polsek dan memasukkan jari ke organ vital korban.***
Bersambung…
| | Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten apapun tanpa seizin redaksi TIMES NTT. | 
 | 
Tidak ada komentar