“Biasanya, mereka yang alergi pada transparansi, menyimpan sesuatu,” sindir Lasarus. “Jika tidak terlibat, kenapa harus takut berbicara atau diliput media?”
Tambolaka, TIMESNTT.COM | Sikap bungkam dan larangan memberitakan yang dilontarkan Yusuf Bora, Ketua DPD Partai Perindo sekaligus anggota DPRD Fraksi Perindo Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), memicu kontroversi di kalangan publik dan pengamat. Pernyataan Yusuf yang berbunyi, “Kenapa ditulis, kan saya sudah bilpang no comment,” dilontarkan saat diminta tanggapan terkait polemik seleksi PPPK tahap dua di Kabupaten SBD yang dinilai banyak pihak sarat manipulasi.
  
 
Sikap ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa seorang politisi yang duduk di kursi wakil rakyat, justru memilih diam dan bahkan menolak diberitakan, terutama terkait isu publik yang menyangkut ribuan tenaga kontrak daerah?
Pengamat politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Lasarus Jehamat, menilai tindakan Yusuf Bora bukan saja tidak etis secara politik, tetapi juga melecehkan peran pers dalam negara demokrasi.
  
 
“Ini ironis. Yusuf Bora adalah kader partai yang didirikan dan dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo seorang taipan media nasional. Tapi justru kadernya melarang wartawan memberitakan sikap politiknya,” ungkap Lasarus.
Menurut Lasarus, dalam demokrasi modern, wakil rakyat tidak bisa sembunyi di balik kalimat “no comment” apalagi melarang pers bekerja. Justru keterbukaan terhadap publik menjadi indikator utama integritas dan keberpihakan seorang legislator terhadap konstituen yang memilihnya.
  
 
“Ia digaji oleh negara, duduk di lembaga legislatif yang tugasnya menyuarakan aspirasi rakyat. Menolak bicara soal PPPK, apalagi saat tenaga kontrak sedang berjuang, adalah bentuk pengingkaran terhadap mandat politiknya,” kata Lasarus.
Dugaan Titipan Nama Semakin Kuat
Sikap diam Yusuf Bora, ditambah sikap melarang wartawan menulis, makin memperkuat dugaan publik tentang keterlibatannya dalam praktik “titip nama” ke BKPSDM SBD yakni dugaan bahwa sejumlah orang yang tidak pernah menjadi tenaga kontrak resmi, justru diloloskan dalam seleksi PPPK.
“Biasanya, mereka yang alergi pada transparansi, menyimpan sesuatu,” sindir Lasarus. “Jika tidak terlibat, kenapa harus takut berbicara atau diliput media?”
Ia menyarankan agar DPRD SBD dan seluruh fraksi yang belum bersikap, segera mendukung pembentukan pansus agar semua dugaan dapat diungkap secara terbuka, termasuk soal dugaan adanya “orang titipan” dalam daftar kelulusan PPPK.***
| | Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten apapun tanpa seizin redaksi TIMES NTT. | 
 | 
Tidak ada komentar