“Tanah gereja ini kami sudah miliki sejak Tahun 1969. Kita berencana tanah ini menjadi tempat agrowisata. Kita berencana untuk hidup berdampingan dengan masyarakat yang ada di sini,”
OELAMASI, TIMES Nusa Tenggara Timur |Pendeta Mesnick Ataupah, selaku Ketua Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia Daerah Nusa Tenggara didampingi Pdt. Ahimas Natti, S.Th (Sek Daerah Nusra) dan Pdt. Frans Nabuasa, S.Th (Kepala Pertanian Kelapa Tinggi) menceritakan kejadian demi kejadian yang menimpa penjaga di lahan milik Gereja itu pada Rabu 29 Mei 2024 siang.
Lahan seluas 35 Hektar yang terletak Desa Mata Air, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang diketahui dibeli oleh Pengurus Gereja Advent Ketujuh NTT sejak Tahun 1969.
Menurut Pendeta Mesnick, sebanyak dua lopo yang dibangun oleh pihaknya dalam lahan tersebut dibakar oleh orang tidak dikenal.
Selain dua lopo, mesin pompa air, kabel listrik juga mengalami pengerusakan yang sama.
“Kejadian itu berentet sejak Tahun 2023, sampai pada tadi malam rumah yang ditempati oleh security yang menjaga lahan ini juga dilempari batu,” kata dia.
Pendeta Mesnick menyebut atas kejadian itu pihaknya sudah dilaporkan ke Polsek Kupang Tengah di Tarus, namun tidak diproses.
“Mereka hanya bilang kepada anggota kami yang melapor untuk pulang dan mengurus secara damai,” tandasnya
Asal Konflik
Pendeta Mesnick menuturkan jika lahan seluas 35 hektar itu dimiliki gereja yang dibeli secara urunrembuk sejak Tahun 1969.
“Tanah gereja ini kami sudah miliki sejak Tahun 1969. Kita berencana tanah ini menjadi tempat agrowisata. Kita berencana untuk hidup berdampingan dengan masyarakat yang ada di sini,” paparnya.
Dalam perjalanan, warga kemudian meminta untuk tinggal di sebagian lahan tersebut. Pihak Gereja Advent Hari Ketujuh kemudian menyetujui permintaan warga sebanyak 43 KK dan membiarkan mereka menempati pada lahan seluas 5 Hektar.
“Ada sebanyak 43 KK warga yang tinggal di tanah ini. Dulu, mereka meminta untuk tinggal di sini melalui surat kepada pengurus gereja,”
“Mereka sempat minta pelepasan hak tapi kami tidak kasih,” tambahnya.
Sejak kurang lebih dua tahun lalu, pihak gereja kemudian mulai brrkativitad di dalam lahan tersebut dengan usaha pertanian dan agrowisata.
“Dalam perjalanan kita mengusahakan tanah ini untuk hasilnya bisa dikasih ke gereja. Saat kita masuk tidak ada masalah, saat menanam berbagai tanaman juga tidak bermasalah,”
“Tetapi saat kami membangun lopo, lopo itu kemudian di bakar. Kami lapor polisi tapi tidak diproses serius. Kemudian kita bangun kapela di sini,” ujarnya.
“Mereka yang dulu dikasih tanah untuk tinggal di sini malah belakangan memusuhi kita yang punya tanah,” ujar Pendeta Mesnick lagi.
Lama kelamaan nyawa yang terancam. Maka pihaknya kemudian mengambil sikap untuk:
Pertama, meminta kepada pihak Gereja GMIT untuk merelokasi salah satu gereja yang miliknya yang berada di dalam lokasi itu.
“Karena saat dibangun tidak meminta ijin kepada kami.
Mereka hanya bangun-bangun saja. Kami juga tidak persoalkan sebenarnya tapi ketika gereja sudah saling memusuhi kan tidak bagus jadinya,” ujar Pendeta Mesnick.
Kedua, Meminta kepada pemerintah Kabupaten Kupang agar merelokasi penduduk yang ada di lokasi itu.
Ketiga, meminta kepada untuk Polsek Kupang Tengah untuk memperhatikan secara serius laporan pihaknya.
“Waktu anak-anak pergi ke sana melapor mereka malah meminta untuk pulang lalu menunjukan surat kepemilikan ke warga,”
“Kita minta juga kepada Pola NTT untuk memberikan perhatian yang serius karena ini menyangkut masalah masyarakat,” jelasnya.
Tidak ada komentar